BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan
kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia
disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat
hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya,
dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri
dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma
yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika sebagai berikut:
a.
Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis
dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh
setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika
deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai
nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan
realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam
penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan
kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
b.
Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang
ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan
oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat
menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang
buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Manusia
modern, menghabiskan hidupnya dalam organisasi. Organisasi menjadi pemimpin
yang tanpa disadari menjadi lingkungan yang selama ini kita huni. Sangat tidak
mengherankan jika manusia kemudian disebut dalam (Presthus,1962) sebagai Organizational
Society. Dalam konteks kenegaraan, kehidupan pengorganisasian
masyarakat dalam wilayah negara, pengorganisasiannya disebut birokrasi
pemerintahan. Dalam era demokratisasi, dilema dalam hubungan antara penjabaran
nilai-nilai demokrasi dan realitas manajemen organisasi birokrasi di masyarakat
menjadi hal yangpelik, rumit serta problematik. Realitas sosial masyarakat yang
dilahirkan serba tidak teratur dan transisi, yang terdiri dari berbagai
kelompok-kelompok majemuk, tampil dengan topeng liberal demokrasi yang menuntut
lahirnya sebuah citra perfect dari birokrasi yang berwujud
demokratis dalam perspektifnya (kebutuhannya, baca). Mentalitas state apparatus Indonesia,
yang belum menampakkan kongkretisasiperwujudan nilai-nilai demokrasi sistem
pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai kesejajaran yang digerakkan visi dan
misi, belum menunjukkan tanda-tanda perwujudan aksinya. Kesulitan menerjemahkan
kerangka baru (aturan) dalam aktivitasnya, karena rule driven penggeraknya
belum berubah secara total. Kenyataan ini melahirkan keraguraguan dalam
pengimplementasiannya. Fenomena ini yang dialami aparat pemerintah dalam
menjalankan tugasnya saat ini, disamping sangat rendahnya motivasi, kemauan
kerja serta inisiatip aparat birokrasi, karena berbagai keterbatasan yang
dimilikinya. Mencermati berbagai fenomena yang belakangan ini muncul di kota
Palu tentang problematika pelayanan publik (KTP,KK dll) yang mengalami gugatan
dari komunitas masyarakat yang sempat hangat dimedia daerah, merupakan fenomena
umum yang terjadi di Indonesia. Kondisi tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh
hasil survey dari PSKK UGM 2001, bahwa umumnya pelayanan pulik di Indonesia
adalah masih buruk.Tetapi dengan melihat angka distribusi prosentase kegiatan
ekonomi di daerah ini (Palu) yang didominasi kegiatan Jasa. Semestinya menjadi
pertanda bahwa masyarakat telah terbiasa memahami esensi sebuah pelayanan, baik
dari kegiatan jasa atau jenis lain seperti perdagangan. Sehingga sangat naif
bagi pemerintah untuk tidak melihat potensi ini, yang mestinya dijadikan
kekuatan bagi pemerintah yang mesti dikembangkan, mengingat bahwa keterkaitan
antara berbagai Stoke Holder dalam menciptakan pembangunan yang
sinergis didaerah ini, menuntut keterlibatan berbagai komponen yaitu Birokrasi, Civil
Society Dan Privat Sector. Survey Pelayanan Publik Tahun
2001 pada 3 (tiga) tempat sebagai sample wilayah Indonesia yaitu Sul-Sel,
Sumbar dan Yogyakarta oleh PSKK UGM (Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan),
terlihat 59% responden penggunan jasa pelayanan public menyatakan kinerja
pelayanan publik adalah buruk. Kesimpulan dari penelitian tersebut mengatakan
bahwa hal itu terjadi karena pelayanan publik masih dilaksanakan dan digerakkan
oleh peraturan (rule driven) serta anggaran, dan bukan oleh misi. Konsep
baru saat ini, merupakan bentuk modernizing birokrasiyang mestinya
telah dikembangkan di Indonesia mengingat telah besarnya anggaran pelatihan,
seminar, kursus, diklat untuk upaya peningkatan kinerja pelayanan publik yang
berorientasi kepada kepuasan masyarakat diseluruh Indonesia, dari pusat hingga
pelosok desa. Tetapi mengapa belum berubah, yang mengalami perubahan adalah
wajah teknis administratip yang kian rumit, sementara perilaku birokrasi
sebagai driven utama tidak perubahan. Paternalisme birokrasi,
kondisi dimana bawahan selalu takut melampaui wewenang pimpinan atau atasannya.
Sehingga tidak berbeda dengan perilaku birokrasi orde baru, dimana bawahan
tergantung kepada pimpinan. Kondisi itu, tidak melahirkan diskresi dalam birokrasi yaitu
kebebasan menerjemahkan situasi yang dihadapi tiap aparat sesuatu profesi dan
tugasnya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak bersandar pada juklak dan
juknis yang kaku. Adanya ketergantungan, menyebabkan tidak jalannya mekanisme
sistem pelayanan publik sebagai salah satu tugas aparat pemerintah sehingga
menciptakan inefisiensi birokrasi dalam merespons kebutuhan pengguna jasa. Mengapa
masyarakat tidak melakukan sebuah Komplain atau counter
attack atas fenomena yang merugikan ini. Inefisiensi birokrasi
merupakan penyakit birokrasi yang sulit diselesaikan. Penyebab sulitnya
melaksanakan fungsi pelayanan dan pengembangan daerah karena beberapa hal;
a. Pertumbuhan
penduduk,
b. Inflasi,
c. Meningkatnya
harapan akan kualitas pelayanan,
d. Sumber
pendapatan daerah yang tidak memadai rentangnya dengan kebutuhan,
e. Secara ril
nilai pendapatan semakin turun,
f. Kuatnya
kontrol pusat terhadap upaya mencari sumber-sumber pendapatan lain,
g. Ketidak seimbangan
antara fungsi pemerintah daerah dan sumber dana.
Dari 7
(tujuh) hal diatas pada prinsipnya hanya satu, yaitu keterbatasan dana daerah
dalam memenuhi ekspektasi masyarakat dalam pelayanan publik. Sebenarnya
terdapat alternative yang dapat dipilih untuk mewujudkan upaya menutupi
keterbatasan diatas dengan:
a. Menghapuskan
pengeluaran yang tidak urgen,
b. Mencari
alternative biaya efektive dalam pelayanan jasa,
c. Memprivatisasi
unit kegiatan tertentu,
d. Menjual
aktiva yang berlebihan,
e. Mengefektifkan
retribusi dan pendapatan dari pajak dar kebocoran,
f. Menaikkan
tarif pajak,
g. Menggalang
partisipasi masyarakat,
h. Mengidentifikasi
jenis pajak baru,
i.
Bagi hasil pajak,
Pinjaman dari pihak ketiga bagi usaha-usaha daerah
yang produktive secara professional. Selain inefisiensi diatas, banyak kegiatan
pemerintah bukan didorong untuk menciptakan program produktif untuk mendukung
sistem pemerintahan mandiri dalam keuangan, dimana dalam konsep reinventing
government yang dijadikan sebagai pola umum acuan kehidupan otonomi
daerah dalam menciptakan pelayanan publik yang baik (good
governance) tidak diimplementasikan. Akibatnya tercipta inefisiensi
anggaran, penyebabnya karena daerah dibebani biaya non-produktif dari program
ideologis masa lalu ataupun baru sebagai refleksi penciptaan identitas diri
daerah. Kebijakan investasi, lebih sebagai simbolisasi ‘penanda’ daerah
dalam lokus status atau gengsi. Bahkan birokrasi menciptakan unit usaha yang
menjadi competitor masyarakat yang memiliki modal terbatas. Untuk mengeksiskan
pengakuan suatu daerah seperti wilayah pesisir, yang dikembangkan secara “instan” adalah,
aspek terkait laut seperti perikanan dll tanpa perhitungan aspek keberlanjutan
baik secara ekonomi, sosial, SDM, manajemen dll. Kebijakan ini masih
dipertahankan dan diciptakan, karena pola latah birokrasi di
Indonesia. Kegiatan pelayanan publik mestinya sesuai dengan Local Good
Governance Index (LGGI) yang digunakan saat ini dalam pengukuran kinerja
sistem pemerintahan daerah sebagai wujud efektifitas dan efisiensi, terutama
untuk anggaran daerah yang akuntabel. Masyarakat mendapat respons Advokasi
nilai atas pelayanan yang diterimanya dari kelompok-kelompok intelektual yang
dipengaruhi lingkungan pendidikan, NGO, civil society yang menjadi agent
demokrasi liberal dalam masyarakat. Dilema yang ditimbulkan adalah keinginan
mengimplementasikan paradigma pelayanan secara total atas masyarakat sesuai
tuntutan demokratisasi. Sementara birokrasi diperhadapkan kepada keterbatasan
supra dan infra struktur seperti yang digambarkan diatas. Keadaan ini
melahirkan budaya transisi dari birokrasi Indonesia. Birokrasi kekinian
(Warsito Utomo,1996) mestinya bertumpu pada ACE (Alignment, Creativity And
Empowerment) sehingga komponen dalam struktur dan system birokrasi serta
masyarakatpun harus berubah, tidak lagi mengedepankan kepada egosentrisme
lokalistik yang didasarkan pada arogansi baik dari tataran sosial maupun
material. Yaitu masih kentalnya masyarakat Indonesia utamanya kalangan
tertentu, yang terbiasa dengan kemudahan sehingga melupakan aspek komunitarian
yang menjadi tangung jawab penengelolaan organisasi pelayanan publik. Penting
diketahui bahwa prinsip pengelolaan manajemen pelayanan demokratis oleh Giddens
dalam Third Way dikatakan “tidak ada hak tanpa kewajiban”.
Untuk itu dibutuhkan sebuah tataran teoritik yang diharapkan dapat menghasilkan
kesadaran 5 F yaitu fast, focus, flexible, friendly and fund. Pada
kondisi learning organization seperti inilah birokrasi
merupakan sebuah institusi yang memberdayakan masyarakat. 1 Staf Pengajar
Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNTAD
2.
Etika Pertanggungjawaban, Moralitas dan Spriritualitas
Kita mungkin
seringkali mendengar, atau bahkan menggunakan, istilah tanggungjawab".
Akan tetapi apakah ia sesungguhnya di benak kita? Adakah ia kita pandang
sebagai sesuatu yang menyertai pelaksanaan suatu tindakan atau perbuatan,
penunaian suatu kewajiban, suatu tugas, padamana ia memang umumnyadikaitkan?
Di dalam
kata bentukan itu sebetulnya juga terkandung "beban". Ketika kita
mengerjakan sesuatu, maka "beban" tanggungjawab atas baik-buruk,
benar-salah dari apa yang kita kerjakan itu ada di pundak kita. Kalaupun dalam
suatu kerja-kelompok ada sosok figur "penanggungjawab", maka ia hanya
bertanggungjawab secara umum saja. Pelaksanaan dari bidang kerja yang menjadi
tugas masing-masing personil dari kelompok kerja itu, tetap menjadi
tangggungjawab masing-masing, yang harus ia pertangungjawabkan lagi kepada si
penanggungjawab tadi. Apa yang hendak saya katakan disini adalah, apapun yang
kita kerjakan adalah tangungjawab kita. Sebagai manusia dewasa, orang yang
bertangungjawab, tidaklah pantas kita lari dari tanggungjawab serupa itu.
Dalam Hukum
Karma, Hukum Kausalitas Universal, apa yang kita perbuat merupakan sebab yang
akan berakibat atau merupakan aksi yang mengundang hadirnya reaksi. Ketika
sebab telah diciptakan, maka si pencipta sebab seharusnya bertanggungjawab atas
akibat yang mengikutinya. Inilah kunci keterkaitan langsung antara Hukum
Sebab-Akibat dengan pertanggungjawaban itu. Selama sebuah perbuatan masih
disertai oleh si pelaku perbuatan, maka selama itu pula hasil perbuatan harus
ada yang menanggungnya. Sebagai si pelaku, seseorang tidak pernah bisa lepas
dari hasil dari kelakuannya. Si pelaku inilah yang, mau tak mau, harus
bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.
3.
Tanggungjawab dan Kemanusiaan
Ketika kita
mengakui keberadaan kita sebagai manusia, kitapun seharusnya menyadari
tanggungjawab kemanusiaan, tanggungjawab kepada manusia, yang melekat padanya.
Belumlah pantas bila kita mengaku sebagai manusia, namun masih berprilaku
layaknya binatang yang tak beradab. Pengakuan, pengklaiman selalu harus
disertai kelayakan. Anda tidak akan mengklaim sesuatu yang tidak atau belum
layak untuk Anda. Anda hanya layak mengklaim diri sebagai manusia dan minta
diperlakukan layaknya manusia, bilamana Anda memang benar-benar menunjukkan
diri sebagai beradab layaknya manusia. Sementara kebiadaban identik dengan
kebinatangan, maka keberadaban identik dengan kemanusiaan. Sebagai manusia,
kita punya "tanggungjawab-moril" untuk menganut faham kemanusiaan dan
berprilaku, berpola ucap, berpola pikir layaknya manusia. Tanggungjawab-moril
ini melekat dengan keberadaan kita sebagai manusia. Ada yang mempersamakan
"tanggungjawab-moril" dengan "beban-moril". Akan tetapi,
ketika kita menyadari semua ini, ketika kita menyadari tanggungjawab-moril
kita, apakah untuk bertindak manusiawi merupakan suatu beban bagi kita?
Etika punya
arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda
dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal
tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral
adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap
baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari
orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter
Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama
artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara
tertukar-tukar.Berbicara mengenai manusia dan etika, kita
mengetahui bahwa di lingkungan kita terdapat bermacam-macam karakter orang yang
berbeda-beda. Dalam konteks keamanan, orang-orang yang membuat kekacauan di
tempat yang tidak berhubungan dengan mereka disebut intruder. Ada
dua macam intruder, yaitu:
1)
Passive intruder, intruder yang hanya ingin membaca
berkas yang tidak boleh mereka baca.
2)
Active intruder, Lebih berbahaya dari passive
intruder. Mereka ingin membuat perubahan yang tidak diizinkan (unauthorized)
pada data.
Ketika
merancang sebuah sistem yang aman terhadap intruder, penting untuk
mengetahui sistem tersebut akan dilindungi dari intruder macam
apa. Empat contoh kategori:
1)
Keingintahuan seseorang tentang hal-hal pribadi orang
lain.
2)
Penyusupan oleh orang-orang dalam.
3)
Keinginan untuk mendapatkan uang.
4)
Espionase komersial atau militer.
Menurut
pendapat saya pribadi etika dan moral adalah suatu peraturan tak tertulis yang
menunjukan martabat kita sebagai manusia. Dan jika ada orang yang melanggarnya
mungkin hanya sebuah rasa penasaran yang membuat mereka melanggarnya atau
hanyalah sebuah rasa iseng, tetapi ada juga yang mendapat uang jika
melanggarnya karena mereka mempunyai hidup yang sulit dan hanya itu
satu-satunya jalan untuk menyambung hidup karena itu kita haruslah berpikiran
terbuka dalam menghadapi masalah ini, sebab semua orang mempunyai
alasan-alasannya masing-masing. Etika atau
filsafat moral merupakan bagian teoritis dari filsafat. Filsafat (baca: etika)
teoritis ini membicarakan atau menyoal akar keberadaan sesuatu. Dalam pada itu,
apa yang dimaksud dengan filsafat moral atau sebut saja etika, sejatinya
merupakan suatu bidang keilmuan yang bersifat khusus sebagaimana yang disebut
Magnis sebagai “einzelwissen schaften” (Suseno,2003: 10)
dimana topik pembahasannya adalah tema- tema seputar hal-hal atau ideal- ideal
yang normatif. Berkenaan dengan itu, apa yang dimaksud dengan etika politik
merupakan suatu bagian ilmu politik yang bersifat khusus dan memiliki kekhasannya
sendiri sebagaimana ilmu-ilmu selainnya. Apa yang dimaksud dengan etika politik
ialah suatu disiplin ilmu yang bersifat teoritis dan juga normatif. Saya
katakana demikian sebab memang dalam kapasitasnya sebagai ilmu teoritis, etika
politik hanya bermain pada bidang- bidang yang menyoal hal-ha yang berkenaan
dengan politik dalam bingkai normativisme etika.Karakter demikian itu merupakan
bagian inheren dan juga immanen dalam diri etika politik sebab memang ia berada
dalam ranah normativisme etika yang berbicara dalam kerangka layak dan atau
tidak layak, bukan dalam bingkai benar dan atau salah. Artinya bahwa sebagai
cabang ilmu pengetahuan, etika politik membahas tentang apa yang seharusnya,
apa yang layak, dan apa yang semestinya dilakukan berkenaan dengan dunia
politik. Diantara pembahasan pokok yang diangkat ialah perrihal otoritas. Dalam
etika politik ,otoritas dimaknai sebagai suatu kewenangan yang terlembaga.
Selain itu etika poitik juga mengangkat pembahasan perihal asal muasal
kedatangan otoritas tersebut.
Dalam hal ini, kita mengenal istilah legitimasi kekuasaan, yang dimaksud
adalah pembahasan seputar dari mana datangnya hak kuasa satu phak atas pihak
lain dan apa alasan yang melatari sehingga lahir pengakuan terhadap kekuasaan
tersebut. Dalam kajian etika politik, terdapat beragam tipologi legitimasi
kekuasaan. Ada legitimasi religius kekuasaan, yakni suatu konsep tentang
penerimaan kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain atas dasar doktrin
religiusitas yang bersifat devine. Magnis meliat bahwa kelemahan
dari teori ini adalah rawannya terjadi ”kebocoran” dengan mengklaim bahwa
apapun yang dilakukan penguasa merupakan ”mandat langit” sehingga ketika
terjadi kesalahan pun sang penguasa tidak berkewajiban menyerahkan
pertanggungjawaban (Suseno,2003:48). Menurut saya, ini sangat merugikan bagi
pihak yang berada dibawah kekuasaan sebab apapun yang dilakukan penguasa adalah
suatu hal yang tak boleh dipertanyakan pertanggungjawabannya, sehingga rawan
terjadi malpraktik kekuasaan. Otoritas berubah menjadi otoritarianisme atas
nama mandat langit dimana penguasa mengklaim dirinya sebagai zilalillah fil ardh (bayang-bayang
Tuhan di bumi). Pada kesempatan ini saya akan mengetengahkan pandangan Ibn
Taymiyyah berkenaan dengan tema etika politik yang mengerucut pada pembahasan
seputar legitimasi kekuasaan dalam panadangan Ibn Taymiyyah yang juga merupakan
konsep pemikiran politik beliau tentang dasar pendirian suatu negara.
4.
Pemikiran politik
Dalam peta pemikiran Islam, Ibn Taymiyyah adalah tokoh pemikir yang digolongkan
kedalam kategori fundamentalis. Dalam hal pemikiran keagamaan, pola pemikiran
beliau yang bercorak rigid dalam menafsirkan ajaran agama yang
tertuang dalam teks-teks suci menunjukkan bahwa beliau ialah tokoh yang
merupakan representasi kalangan fundamentalis literal (Isfunlit, meminjam
istilah Haidar Bagir) atau skripturalis. Kategorisasi ini benar ketika kita
berbicara pemikiran Ibn Taymiyyah dalam hal-hal yang berkenaan dengan doktrin
keagamaan semisal fiqh, aqidah, dan lain sebagainya.
Namun lain halnya ketika kita berbicara pemikiran beliau dalam domain sosial
politik. Dalam ranah kajian ini, beliau tampak sangat ”sekuler”. Namun uniknya
sekularitas Ibn Taymiyyah ini justeru lahir dari rahim fundamentalisme literal
yang dianutnya, bukan dari liberalisme.Artinya bahwa pandangan Ibn Taymiyyah
dalam bidang politik yang tampak bercorak sekuler tersebut lahir dari pemahaman
beliau terhadap teks suci yang beliau taafsirkan secara rigid.
Dimana letak sekularitas Ibn Taymiyyah? Dalam hal pendirian negara, berbeda
dengan pandangan fundamentalis lainnya, Ibn Taymiyyah beranggapan bahwa tidak
perlu didirikan negara Islam. Artinya kalau toh pada gilirannya ada sebuah
negara Islam yang berdiri, maka itu merupakan buah dinamika sosial politik yang
menghendaki negara tersebut berdiri, bukan merupakan hasil dogma agama. Sebab
dalam kacamata Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun yang
menyuruh mendirikan negara Islam (lihat.Khan,2001:69). Dalam karyanya,
Qamaruddin Khan menukil adanya anggapan bahwa terdapat kemiripan antara konsep
Ibn Taymiyyah dengan paham politik kaum Khawarij yang
cenderung pada paham anarkisme(tanpa negara).
5.
Legitimasi Kekuasaan
Di awal
pembahasan telah kita singgung sedikit tentang legitimasi kekuasaan. Kekuasaan
dapat diartikan sebagai suatu kemampuan unuk mempengaruhi dan menerapkan apa
yang kita inginkan atas pihak lain. Sedangkan legitimasi merupakan suatu
pembenaran atau alas an penerimaan, dalam hal ini legitimasi kekuasaan dapat
diartikan sebagai suatu alasan atau pembenaran penerimaan suatu pihak yang
dikuasai atas kekuasaan pihak penguasa sehingga dalam relasinya kekuasaan
tersebut legitimate. Bentuk dari legitimasi kekuasaan ini
beragam, sebagaimana telah saya singgung di awal bahwa sedikitnya terdapat dua
basis utama legitimasi kekuasaan yakni legitimasi religius dan legitimasi etis
yang terbagi lagi kedalam bentuk yang lebih spesifik semisal legitimasi moral
etis, legitimasi tradisional, rasional legal, dan lain sebagainya.
Konsep
legitimasi religius kekuasaan sebagaimana para fundamentalis lain, dalam
pandangan kalangan fundamentalis, penguasa kerap diposisikan sebagai wakil
Tuhan di bumi. Ini berarti bahwa kekuasaannya
merupakan representasi Ilahiyah yang mengemban tugas- tugas langit. Dalam
kapasitas ini, penguasa tidak bisa dibantah, sehingga besar kemungkinan terjadi
pembelokan otoritas dari kekuasaan yang suci menjadi otoritarianisme penguasa
despotik yang selalu mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kebijakannya. Dalam
posisi ini, rakyat tidak punya posisi tawar untuk mempertanyakan
pertanggungjawaban atas kekuasaan tersebut. Ini disebabkan karena memang konsep
legitimasi model religius tersebut tidak mengharuskan adanya pertanggung
jawaban penguasa atas rakyatnya.
Mengenai hal yang berkenaan dengan legitimasi ini, pandangan bahwa
dasar legitimasi kekuasaan dalam suatu pemerintahan atau negara bukanlah
doktrin religiusitas. Sebab dalam legitimasi tersebut timbul dari bawah (bottom
up).Kesadaran dan pengakuan ini timbul disebabkan oleh faktor sosial, yakni
rakyat merasakan dampak positif dari kekuasaan tersebut dalam bentuk keadaan
kehidupan sosial rakyat yang diuntungkan. Singkatnya, semakin rakyat merasa
disejahterakan, maka semakin mereka tidak berkeberatan untuk mengakui kekuasaan
tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial harus ada dan karenanya
pemikirannya lebih cenderung pada legitimasi etis moral kekuasaan yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.
6.
Birokrasi
Kata orang
sih, Birokrasi itu suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk
piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada tingkat
atas. Biasanya birokrasi itu ditemui pada instansi yang sifatnya administratif
maupun militer. Nah, organisasi yang dimaksud disini memiliki aturan dan
prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya terdapat
banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus
dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan. Birokrasi merupakan suatu tipe atau
model organisasi yang sangat menekankan pada rasionalitas, ketertiban dan
efisiensi. Makanya model kayak gini ini, dianggap tepat untuk organisasi besar
kayak pemerintahan. Birokrasi pun jadi identik dengan pemerintah. Atau
pemerintah yang jadi identik dengan birokrasi .
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kalau
Pelayanan Publik, diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam
bentuk barang maupun jasa yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan
dilaksanakan oleh instansi pemerintah (baik pusat, daerah, BUMN maupun BUMD)
dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pelayanan Publik ini merupakan salah satu fungsi pokok pemerintahan selain
fungsi pengaturan. Fungsi pelayanan publik ini mengacu pada konsep Negara
kesejahteraan, bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, wujudnya berupa pelayanan kepada seluruh masyarakat
dalam semua lapisan. Oleh sebab itulah, birokrasi menyelenggarakan pelayanan
umum., dan PNS dikenal sebagai pelayan (abdi) masyarakat.
Etika
pelayanan publik berkaitan dengan prinsip-prinsip moral dalam menjalankan
tanggung jawab peran aparatur birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan
pelayanan bagi kepentingan publik. Yang jadi fokus utamanya adalah apakah
aparatur pelayanan publik, pegawai negeri atau birokrasi mengambil keputusan
dan berperilaku yang dapat dibenarkan dari sudut pandang etika. Fokus ini akan
bermuara pada tujuan untuk mewujudkan integritas dalam pelayanan publik.
beberapa hal yang jadi alasan tentang relevansi dan pentingnya etika dalam
birokrasi pelayanan publik ;
a. Etika dalam
kehidupan yang baik : pelayanan publik adalah kehidupan yang penting bagi
masyarakat, jadi sudah selayaknya jika dimensi etika dimasukkan dalam
pertimbangan dan keputusan dalam birokrasi pelayanan public
b. kekuasaan
birokrasi : Birokrasi berwenang membuat sekaligus melaksanakan kebijakan publik
dan etika diperlukan sebagai panduan dalam mengambil keputusan sekaligus
menilai baik tidaknya keputusan tersebut.
c. Kewibawaan
pemerintah : kebersihan dan kewibawaan ini pada dasarnya hanya dapat diperoleh
jika birokrasi bebas dari perilaku negatif dan tercela.
d. Hak dan
kepatuhan warga Negara : Setiap warga Negara memang berhak atas pelayanan, tapi
warga Negara yang baik harus patuh pada aturan.
e. Reformasi
penyelenggaraan pemerintah : Pegawai Negeri dituntut untuk memberikan pelayanan
terbaik kepada publik, makanya pemerintah harus melakukan reformasi di bidang
penyelenggaraan administrasinya karena berbagai alasan. Baik arus globalisasi,
buruknya pelayanan publik, kemajuan teknologi ataupun demokratisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Kencana, Inu. 2007, Pemerintahan Indonesia : Jakarta. Gema Insane Press.
Belum ada tanggapan untuk "MAKALAH ETIKA BIROKRASI PUBLIK"
Post a Comment