Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui
Hubungan Karakteristik Ibu dan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita di
Wilayah Kerja Puskemas Minggir Kabupaten Sleman Yogyakarta. Responden dalam
penelitian ini adalah ibu di Wilayah Kerja Puskemas Minggir Kabupaten Sleman
Yogyakarta yang memiliki balita sebanyak 59 orang. Balita yang diteliti
sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sebanyak 34 orang
(57,6%). Karaktersitik
ibu yang diteliti meliputi usia ibu saat melahirkan balita, pendidikan dan
pekerjaan serta pendapatan keluarga. Hubungan masing-masing variabel di bahas
sebagai berikut:
1. Hubungan Umur Ibu dengan Status
Gizi Balita di Wilayah Kerja
Puskemas Minggir Kabupaten Sleman Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa umur ibu
saat melahirkan balita sebagian besar tidak berisko (20-35
tahun). Usia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan
lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan) (Alwi, 2007). Usia
adalah umur individu yang terhitung mulai sejak saat ia dilahirkan sampai saat
berulang tahun (Suhendri 2009). Usia ibu dalam penelitian ini merupakan usia
ibu saat melahirkan balita. Ibu yang berumur 20-35 tahun disebut sebagai “masa
dewasa” dan disebut juga masa reproduksi, dimana pada masa ini di harapkan ibu
telah mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan tenang secara
emosional, terutama dalam menghadapi kehamilan, persalinan, nifas, dan merawat
bayinya (Hurlock, 2010).
Hasil analisis menunjukkan ada hubungan usia ibu saat melahirkan dengan
status gizi balita di Wilayah Kerja Puskemas Minggir
Kabupaten Sleman Yogyakarta dengan nilai signifikan sebesar 0,021
(p<5%). Hasil penelitian tersebut mendukung penelitian yang dilakukan Ayensu
(2013) yang menunjukkan bahwa usia ibu dapat menjadi salah satu indikator untuk
menentukan status gizi anak.
Usia ibu yang berisiko sebagian besar memiliki balita dengan status gizi
tidak baik. Devi (2010) mengungkapkan bahwa bayi yang lahir dari seorang ibu usia
< 20 dan > 35 tahun kemungkinan lahir belum cukup bulan, berat badan
lahir rendah. Anak yang dilahirkan dengan berat badan rendah berpotensi menjadi
anak dengan gizi kurang Lebih lanjut lagi, gizi buruk pada anak balita
berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan atau IQ. Setiap anak gizi buruk
mempunyai risiko kehilangan IQ 10-13 poin. Lebih jauh lagi dampak yang
diakibatkan adalah meningkatnya kejadian kesakitan bahkan kematian
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ibu memiliki usia berisiko
tetapi memiliki balita dengan status gizi baik. Hal tersebut dapat disebabkan
karena faktor lain salah satunya adalah asupan makanan yang dikonsumsi balita. Santoso
& Ranti, 2010 mengungkapkan ada
kemungkinan ibu dapat menyediakan makanan-makanan yang berigizi untuk balita
sehingga status gizinya cenderung baik. Susunan hidangan
baik dari segi kualitas maupun kuantitas maupun memenuhi kebutuhan tubuh, maka
tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya
Berdasarkan hasil penelitian, teori dan penelitian sebelumnya dapat
dinyatakan bahwa ada hubungan usia ibu dengan status gizi balita. Nilai RR
diketahui sebesar 2,571 artinya ibu yang berusia < 20 atau > 35 memiliki
peluang untuk memiliki balita dengan gizi tidak baik 2,571 atau 2,6 kali lebih
besar dibandingkan dengan ibu dengan usia 20-35 tahun.
2. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status
Gizi Balita di Wilayah Kerja
Puskemas Minggir Kabupaten Sleman Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian
besar ibu memiliki pendidikan tinggi (SMA/PT). Menurut Wawan & Dewi (2011),
pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan
orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk
berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagian.
Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang
menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dari
lembaga dan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan
informal di luar sekolah (Depkes RI, 2012). Berdasarkan Qur’an Surat At-Taubah
ayat 122:
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)
Berdasarkan ayat di atas, mengandung pengertian bahwa
pendidikan merupakan hal yang mendasar dalam menambah pengetahuan. Pendidikan
orang tua khususnya ibu yang tinggi akan mendukung pengetahuan orang tua
termasuk tentang gizi.
Berdasarkan perhitungan chi square nilai signifikansi p-value sebesar 0,533
(p>0,05). Artinya tidak terdapat hubungan pendidikan ibu dengan status
gizi balita. Hal tersebut dapat disebabkan karena baik ibu yang memiliki
pendidikan dasar maupun tinggi sebagian besar memiliki balita dengan status
gizi baik. Hasil tersebut membuktikan bahwa status gizi balita tidak dapat
diindikasikan melalui pendidikan ibu. Hal tersebut mendukung penelitian yang
dilakukan oleh Devi (2010) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan tingkat
pendidikan orang tua dengan status gizi balita di pedesaan.
Hasil penelitian menunjukkan ibu dengan pendidikan dasar maupun tinggi
sebagian besar memiliki balita dengan status gizi baik. Hal tersebut dapat
disebabkan karena faktor lingkungan. Soekirman (2008) mengemukakan walaupun ibu memiliki pendidikan yang rendah, tetapi
jika ibu aktif dalam kegiatan Posyandu dan rutin dalam melakukan pemeriksaan
tumbuh kembang anak, maka kesehatan balita juga relatif baik. Pelayanan
kesehatan ini meliputi imunisasi, penimbangan anak, dan saran lain seperti
keberadaan posyandu, puskesmas, praktek bidan, dokter dan rumah sakit
Berdasarkan hasil penelitian, teori dan penelitian sebelumnya dapat
dinyatakan bahwa tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan status gizi balita.
Nilai RR diketahui sebesar 1,344 artinya
ibu yang berpendidikan dasar memiliki peluang untuk memiliki balita dengan gizi
tidak baik 1,344 atau 1,3 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang
berpendidikan tinggi.
3. Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Status
Gizi Balita di Wilayah Kerja
Puskemas Minggir Kabupaten Sleman Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar ibu
tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan adalah kegiatan yang
harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya
(Nursalam, 2010). Kewajiban orang tua dalam bekerja
dan mencukupi kebutuhan keluarga tertuang dalam Qur’an Surat At-Tawbah: 105
yang berbunyi:
Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Tawbah /9:
105).
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perhitungan chi square nilai signifikansi p-value sebesar
0,902 (p>0,05). Artinya tidak terdapat hubungan pekerjaan ibu dengan status
gizi balita.
Ibu yang bekerja ataupun tidak bekerja cenderung memiliki balita dengan status
gizi baik. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Sukoco
(2015) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara orang tua yang keduanya
bekerja dengan status gizi anak balita.
Tidak adanya hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi balita
dalam penelitian ini dapat disebabkan karena baik ibu yang bekerja ataupun
tidak bekerja sebagian besar memiliki balita dengan status gizi baik. Ibu yang
bekerja juga bisa secara bersama atau dibantu oleh anggota keluarga lain untuk
ikut mengasuh anaknya sehingga status gizinya dapat tetap terpantau. Selain itu
untuk balita usia 0-6 bulan yang masih ASI eksklusif, ibu yang bekerja tetap
dapat memberikan ASI pada bayi dengan cara diperah sehingga gizi bayi juga
dapat terpenuhi (Rarastiti, 2013).
Bertambah
luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja
terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak positif bagi
pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan
dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan pada anak yang
kurang, dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya
berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka
(Himawan, 2006). Ibu yang tidak bekerja dapat lebih fokus dalam menjaga
anak di rumah sehingga dapat mendukung dalam memantau tumbuh kembang anak
secara intensif. Pada umumnya, ibu yang tidak bekerja akan mempunyai waktu
lebih untuk memberikan perhatian kepada anaknya, dibandingkan ibu yang bekerja
(Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian, teori dan penelitian sebelumnya dapat
dinyatakan bahwa tidak ada hubungan pekerjaan ibu dengan status gizi
balita. Nilai RR diketahui sebesar 1,053 artinya ibu yang bekerja memiliki peluang untuk
memiliki balita dengan gizi tidak baik 1,053 atau 1kali lebih besar
dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja
4. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status
Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskemas Minggir Kabupaten Sleman Yogyakarta
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar
responden memiliki pendapatan Tinggi (> Rp.
1.338.000). Hasil tersebut memberikan
gambaran bahwa pendapatan keluarga di lingkungan kerja Puskesmas Minggir
tergolong tinggi atau di atas UMR. Notoatmodjo
(2010) mengungkapkan baha tingkat pendapatan menentukan makanan yang dibeli,
dimana semakin tinggi pendapatan keluarga maka makanan yang dibeli menjadi
lebih variatif sehingga mendukung dalam meningkatkan gizi anggota keluarga
termasuk gizi balita
Berdasarkan
perhitungan chi square nilai signifikansi p-value sebesar 0,034 (p<0,05). Artinya terdapat hubungan pendapatan keluarga dengan status
gizi balita.
Hasil penelitian mendukung penelitian yang dilakukan oleh Alom (2011) yang
menunjukkan bahwa faktor utama yang mepengaruhi status gizi anak usia dibawah
lima tahun adalah perekonomian keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Kirsten
(2013) dengan judul penelitian The
influence of Socio-demographic Factors On The Nutritional Status Of Children In
The Stellenbosch Area, Westers Cape menunjukkan faktor yang berpengaruh
pada status gizi anak salah satunya adalah pendapatan keluarga (p=0,0198).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga rendah maupun tinggi sebagian besar memiliki balita
dengan status gizi baik. Menurut Kumala (2013) hal tersebut dapat disebabkan
karena orang tua mengalokasikan dana yang lebih banyak untuk mencukupi
kebutuhan nutrisi balitanya walalupun biaya yang dikeluarkan tidak banyak
tetapi jika orang tua mengerti tentang gizi seimbang, maka status gizi anak
juga akan cenderung baik
Prevalensi malnutrisi pada anak dapat disebabkan karena lingkungan dan
status ekonomi keluarga. Reyes mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi yang
buruk seperti rendahnya gaju ayah mendorong gizi buruk pada anak-anak. Ayah
yang bekerja tetapi memiliki penghasilan rendah atau memiliki pekerjaan yang
tidak stabil cenderung kurang dapat mencukupi nutrisi anak-anak mereka (Ayensu,
2013). Sesuai dengan pendapat Pongou, Ezzati, & Salomon (2006) bahwa status
gizi yang buruk mencerminkan ketidak seimbangan dalam asupan makanan dan / atau
penyakit menular. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sosial
ekonomi, seperti status ekonomi rumah tangga.
Hal tersebut berkaitan dengan pengetahuan orang tua tentang komponen gizi
seimbang bagi balita. Menurut Proverawati dan Wati (2011) kebutuhan gizi
seseorang adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan pada
umumnya. Untuk pertumbuhan dan
perkembangan, balita memerlukan enam zat gizi utama, yaitu karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Zat gizi tersebut dapat diperoleh
dari makanan yang dikonsumsi sehari – hari. Makanan yang dikonsumsi balita
seharusnya : beragam jenisnya, jumlah atau porsinya cukup (tidak berkurang atau
berlebihan), higienis dan aman, makan dilakukan secara teratur, makan dilakukan
dengan cara yang baik.
Berdasarkan hasil penelitian, teori dan penelitian sebelumnya dapat
dinyatakan bahwa ada hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi
balita. Nilai RR diketahui sebesar 2,292 artinya keluarga dengan pendapatan rendah memiliki
peluang untuk memiliki balita dengan gizi tidak baik 2,292 atau 2,3 kali lebih
besar dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan tinggi.
Sumber :
Galuh.A Pramudia (2016) Hubungan Karakteristik Ibu dan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Minggir Sleman Yogyakarta Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas 'AISYIYAH Yogyakarta
Belum ada tanggapan untuk "STATUS GIZI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA"
Post a Comment